Nashkah Khutbah Idul Adha berikut bertema Hikmah di Balik Qurban. Dalam momen Idul Adha atau Hari Raya Haji, folosofi tentang Kurban, tentang Haji, merupakan tema yang sangat menarik untuk disampaikan. Bagi Anda yang menjadi Khotib Idul Adha, tidak ada salahnya mengambil inspirasi dari teks khutbah Idul Adha berikut
===========================================================
Tentang Hikmah Idul Qurban
Kaum Muslimin yang berbahagia!
Pada hari ini kumandang takbir menggema di seluruh
dunia Islam, mengagungkan asma Allah.
Pada hari ini pula, di Padang Arafah, jutaan kaum Muslimin dari seluruh penjuru
dunia berwukuf. Termasuk didalamnya 200 ribu lebih jamaah dari Indonesia. Meski
berbeda negeri dan status sosial, mereka tetap memakai pakaian yang sama,
pakaian ihram, serta mengumandangkan takbir, tasbih, dan tahmid yang
sama pula. Allahu Akbar Allahu Akbar
Allahu Akbar la ilaha illallah wallahu akbar. Allhu akbar walillahilhamd! Mereka juga menyerukan kalimat
talbiyah yang sama: labbaik Allahumma
labbaik labbaika la syarika laka labbaik innal hamda wannikmata laka wal mulk
lasyarika lak. Jika peristiwa
ini dipotret sebagai sebuah kesatuan, maka sungguh apa yang kita lihat itu
sebuah fenomena yang luar biasa. Yang menggambarkan suatu dinamika yang
horizontal maupun yang vertikal.
Allahu
Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar!
Kaum Muslimin yang berbahagia!
Baru saja kita melakasanakan shalat Idul Adha. Idul
Adha merupakan ritual ibadah yang dititahkan oleh Tuhan kepada umat manusia
baik sebagai hamba maupun sebagai khalifah. Oleh karena itu manusia tidak
selayaknya mempertanyakan: mengapa Tuhan memperintahkan kita shalat, haji, dan
ibadah-ibadah lainnya. Tugas ibadah ini datang dari Tuhan yang Maha Kuasa,
Tuhan yang Maha Pengasih, Tuhan yang Maha Mengetahui. Yang perlu kita lakukan
hanyalah menggali hikmah di balik perintah ibadah ini. Apa hikmah shalat lima
kali sehari. Apa hikmah membayar zakat. Apa hikmah pergi haji dan seterusnya.
Hikmah merupakan nilai-nilai yang terkandung
didalamnya yang dapat kita ambil seperti kebaikan, ketepatan, kearifan, dan
keadilan. Oleh karena itu orang yang mampu memetik hikmah dari suatu peristiwa,
kata al-Quran, dialah yang memperoleh keberuntungan yang besar.
“Allah
menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah)
kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia
benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari
firman Allah).” (QS al-Baqarah [2]: 269)
Agar dapat memetik hikmah dari suatu peristiwa,
seseorang harus mampu menangkap substansi dari peristiwa itu. Jika substansinya
sudah tercapai, maka peluang memperoleh hikmah terbuka lebar. Bentuk ritual
shalat misalnya, dapat kita lihat bersama –berdiri, menghadap kiblat, membaca
fatihah, ruku, sujud, dst hingga salam. Itu adalah bentuknya. Namun
substansinya adalah berkomunikasi dan berdialog dengan Tuhan. Ketika membaca
doa: inni wajjahtu wajhiya lilladzi
fatharas samawati wal ardl, maka
hati dan jiwa kita sepenuhnya berkomunikasi dengan Tuhan, sedang berdialog
dengan Tuhan. Shalat tanpa komunikasi dengan Tuhan sama halnya dengan upacara
shalat. Hanya memperoleh bentuk, tidak menangkap substansi dan akhirnya tidak menemukan
hikmah dari shalat yang dikerjakan.
Al-Quran mengingatkan kita: fa wailul lil mushallin (Celakalah orang-orang yang shalat.) Siapa
yang shalat tapi justru celaka? Alladzinahuum
‘an shalatihim sahun. (Yaitu orang-orang yang mengerjakan shalat, tapi
justru mereka lupa berkomunikasi dengan Tuhan.) Perilakunya seperti orang yang
sedang mengagungkan Tuhan, tetapi hatinya justru pergi kemana-mana. Perkara ini
dibicarakan oleh al-Quran tentang pendustaan agama. Secara lengkap surat itu
berbunyi:
“Tahukah
kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan
orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, yaitu)
orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan
enggan (menolong dengan) barang berguna.” (QS al-Maaun [107]:1-7)
Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar!
Hari ini disebut hari Raya Idul Adha bisa juga
disebut Hari Raya Haji. Karena memang ada dua konsentrasi ibadah pada hari itu.
Disebut hari Idul Adha (hari raya qurban) karena pada hari ini ada
penyembelihan hewan qurban. Disebut
hari raya haji karena pada hari-hari ini dilaksanakan ibadah haji. Sebagaimana dengan shalat, Idul Adha juga
mengandung dua dimensi; bentuk dan substansi. Bentuk ritual haji adalah memakai
pakaian ihram, thawaf (mengelilingi Ka’bah), sa’i (lari-lari kecil antara Shafa
dan Marwah), wuquf di Arafah serta melempar jumrah. Setelah itu kembali ke
tanah air masing-masing. Di kampung mungkin mereka akan dipanggil dengan
sebutan Pak Haji atau Bu Hajjah. Begitu pun bentuk ritual ibadah qurban yakni
memotong kambing atau sapi kemudian dagingnya dibagikan kepada fakir miskin.
Namun ketahulah di balik yang nampak semua itu
tersimpan simbol dan makna yang dalam. Ada filosofi yang terkandung di
dalamnya. Filosofi dari ritual itu dapat kita gali dari sejarahnya, misalnya thawaf.
Bentuk ibadah thawaf adalah jamaah berdesakan, mengelilingi Ka’bah sebanyak
tujuh putaran. Setiap putaran jamaah membaca talbiyah, takbir, tahmid, dan doa
yang berbeda-beda. Ibadah thawaf menggambarkan tentang siklus sejarah. Sejarah
kehidupan manusia, individu, keluarga, maupun bangsa mengalami putaran menurut
sunnatullah yang berlaku. Ada jatuh bangun, senang derita, serta sempit dan
longgar. Namun semuanya harus dilalui dengan semangat perjuangan, tanpa
mengabaikan dimensi horisontal dan vertikal (hablun minallah wa hablun minannas).
Dalam putaran itu, ada orang yang muda dan kuat,
tetapi selalu gagal mencium hajar Aswad. Di sisi lain, ada jamaah tua yang
lemah tapi selalu beruntung bisa mencium hajar Aswad. Sejarah juga berlangsung
demikian. Ada orang kuat yang selalu gagal, disamping ada orang yang selalu
mengalah tetapi justru menjadi pemenang. Sejarah selalu berputar. Berdinamika.
Oleh karena itu kita mengenal ada pelaku sejarah, terbawa oleh sejarah, serta
hanyut menjadi korban sejarah.
Coba kita renungkan sejarah bangsa kita. Dari
zaman klasik, zaman penjajahan, zaman perjuangan, zaman kemerdekaan, zaman orde
lama, orde baru, hingga sekarang orde reformasi. Selalu ada putaran yang
memunculkan pahlawan, pengkhianat, koruptor; kecerdasan juga kebodohan. Dalam
putaran sejarah itu kekuasaan diduduki oleh orang silih berganti. Watilkal ayyam yudawiluha bainannas.
“Dan masa (kejayaan dan
kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat
pelajaran”) (QS Ali Imran [3]: 140)
Menurut teori Sosiologi Ibnu Khaldun, jatuh bangunnya suatu bangsa
itu ditandai oleh empat generasi. Pertama generasi pendobrak, kedua generasi
pembangun, ketiga generasi penikmat. Jika pada suatu bangsa generasi
penikmatnya (sibuk menikmati tanpa membangun) demikian mencolok, maka itulah
tanda bangsa tersebut sedang menurun. Karena setelah itu akan lahir generasi
keempat, yakni generasi yang tidak peduli dengan masa lalu dan masa depan.
Tidak bisa menghargai pahlawan dan tidak peduli atas nasib anak cucu.
BACA: Khutbah IDUL FITRI tema Menjauhi Sifat Sombong
Jika teori ini kita gunakan untuk menengok sejarah kita, dalam usia
64 tahun kemerdekaan ini, ketika satu dua generasi pendobrak masih ada yang
hidup, ketika generasi pembangun sibuk dengan membongkar-pasang, maka akan
muncul generasi-generasi penikmat. Tanda-tanda ini mendorong kita untuk berpikir ulang untuk menjadikan
generasai hari ini generasi pendobrak. Kita dobrak semua kejumudan, kita dobrak
semua penyimpangan, dan kita teruskan kembali generasi pembangun.
Allahu
Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar!
Sedangkan filosofi sa’i dapat kita gali dari
sejarahnya. Sejarah sa’i bermula dari perjalanan Siti Hajar, istri Nabi
Ibarahim yang baru saja melahirkan putranya, Ismail. Dalam kesendiriannya, di tengah padang pasir
gersang, dia berusaha mencari setetes air. Ia berlari-lari bolak-balik dari
Shafa dan Marwah meskipun pada akhirnya tidak menemukan air. Setelah gagal
menemukan air Siti Hajar berpasrah kepada Allah. Lalu Allah menunjukkan
kekuasaan-Nya. Tiba-tiba dari jejakan bayi Ismail keluarlah mata air. Mata air
itu kini disebut zam zam. Mata
air itu tidak pernah kering meski dikonsumsi oleh jutaan manusia.
Pelajaran dari ibadah sa’i ialah bahwa setiap
masalah itu harus diatasi. Tuhan tidak akan mengubah keadaan kecuali bila
manusia berusaha mengubah keadaan itu. Tetapi usaha manusia itu juga tidak
menjamin. Banyak manusia yang bekerja keras namun gagal. Tetapi usaha tetap
bermakna. Tuhan tidak melihat hasil, tapi Tuhan melihat kesungguhan usahanya,
seperti yang dilakukan Siti Hajar. Ketika Hajar sudah berusaha maksimal namun
gagal, Tuhan memberikan jalan keluar dari jalan yang tidak terbayangkan.
Keluarnya air dari jejakan kaki jabang bayi Ismail mengajarkan bahwa usaha
kecil dari orang yang bersih akan lebih membawa hasil yang baik, daripada usaha
besar yang dilakukan secara kotor. Menyapu kotoran dengan sapu kecil yang
bersih lebih baik daripada dengan sapu besar yang kotor.
Allahu
Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar!
Selanjutnya ibadah wuquf. Bentuk ibadah wuquf
adalah seluruh jamaah tinggal di padang Arafah, di alam terbuka. Mereka
mengenakan pakaian yang sama, pakaian ihram. Di sana mereka hanya beribadah;
mengumandangkan talbiyah, tasibih, dan tahmid. Filosofi wuquf adalah meskipun
manusia memiliki identitas yang berbeda-beda, status sosial yang berbeda-beda,
tapi sesungguhnya mereka sama di depan Allah. Di sini
menjadi relevan firman Allah yang berbunyi:
“Hai manusia, sesungguhnya
Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang
yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal.” (QS al-Hujurat [49]: 13)
Allahu
Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar!
Adapun ibadah qurban bentuknya sangat sederhana.
Yaitu menyembelih hewan qurban dan dagingnya dibagikan kepada fakir miskin.
Tetapi di balik itu sesungguhnya terkandung pelajaran yang sangat mendalam.
Sebagaimana kita ketahui, penyembelihan hewan qurban bermula dari zaman Nabi
Ibrahim. Menurut sejarah Nabi Ibrahim baru dikaruniai putra ketika berusia 90
tahun. Dapat dibayangkan betapa senangnya kakek tua itu dengan putranya. Ketika
anaknya memasuki usia manja, ketika naluri kecintaan kepada anak sedang dalam
puncaknya, tiba-tiba turun perintah Tuhan untuk mengorbankan putranya. Dalam
pemikiran sederhana rasanya tidak mungkin Tuhan memerintahkan menyembelih
anaknya. Namun Nabi Ibrahim sangat meyakini bahwa Tuhan adalah Maha Baik.
Karena itu tak mungkin menyuruh sesuatu yang tidak baik. Apapun perintah tuhan
itu pasti baik. Baik sangka itulah yang mengantarkan Ibrahim menyembelih
anaknya. Apalagi diketahui, istrinya dan anaknya sendiri ikhlas menuruti
perintah Tuhan. Ternyata yang diminta Tuhan sesungguhnya adalah kepasrahan dan
kepatuhan paripurna dari Ibrahim kepada Tuhannya.
Setelah segalanya sudah dipersiapkan, kemudian
datanglah Malaikat Jibril seraya mengatakan: “Sesungguhnya yang diminta Tuhanmu
bukanlah menyembelih Ismail, melainkan kesiapanmu dalam memberikan apapun yang
diminta oleh Tuhan.” Dan Ibrahim telah bersedia memberikan apa yang diminta
oleh Tuhan, menyembelih anaknya. Sebagai gantinya Jibril membawa seekor domba
untuk disembelih, dikorbankan. Demikianlah kurban itu di kemudian hari menjadi
tradisi keagamaan.
Hakekat
haji sesungguhnya kesiapan seorang hamba untuk memberikan apapun yang diminta
oleh Tuhan; harta, tenaga, bahkan nyawa sekalipun. Thawaf, sa’i, dan
menyembelih hewan adalah simbol-simbol dari dinamika kehidupan manusia yang
puncaknya dipersembahkan kepada Allah Swt. Seperti yang diucapkan dalam awal
shalat: inna shalati wanusuki wamahyaya
wamamati lillahi rabbil ‘alamin. “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup
dan matiku semuanya kupersembahkan kepada Allah Tuhan Semesta Alam.”
Allahu
Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar!
Kaum Muslimin yang berbahagia!
Tuhan memberi panduan hidup kepada manusia melalui
para nabi serta firman-Nya dalam kitab suci. Bahkan fenomena alampun
mengajarkan bagaimana seorang itu harus hidup. Tuntunan agama bersifat bulat,
bukan persegi. Bukan hitam putih. Karena itu nilai-nilai yang diajarkan agama
menyeluruh dan menyentuh seluruh bidang kehidupan; lahir batin; pribadi dan
sosial; alam manusia dan hewan; horisontal dan vertical; dunia dan akhirat.
Ukuran haji yang sukses adalah haji mabrur. Haji
mabrur tidak dibuktikan dengan sertifikat haji mabrur, namun dibuktikan dengan
sikap-sikap yang dijalankan selama menjalankan ibadah haji seperti kespasrahan,
kepatuhan, ketekunan, dan solidaritas, dan tak kenal menyerah dibawa pulang
untuk diteruskan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kehidupan keluarga,
bermasyarakat, maupun berbangsa dan bernegara.
Akhirnya, kaum muslimin yang berbahagia, marilah
kita memanjatkan doa, memohon kepada Allah. Berdoa untuk diri kita, keluarga,
dan juga untuk bangsa ini.
***
”Ya Allah, ya Tuhan Kami! Tunjukkanlah kepada
bangsa ini, tunjukkanlah kepada jalan-Mu yang lurus. Jalan yang dulu
dicontohkan para nabi, para syuhada dan shalihin. Bukan jalan orang-orang yang
engkau murkai. Bukan pula jalan orang-orang yang tersesat.”
”Ya Allah, ya tuhan kami! Jangan engkau sesatkan
hati bangsa ini, ya Allah setelah engkau memberi petunjuk kepada kami.
Berikanlah rahmat-Mu kepada kami ya Allah. Dan engkaulah satu-satunya Tuhan
Maha Pemberi.”
”Ya Allah, ya
Tuhan kami! Perlihatkanlah kepada bangsa ini, ya Allah, kepada pemimpinnya,
kepada rakyatnya. Nampakkan yang benar sebagai kebenaran, dan berilah