Rabu, 21 Desember 2016

Khutbah Idul Adha Tentang Hikmah Ibadah Qurban



Nashkah Khutbah Idul Adha berikut bertema Hikmah di Balik Qurban. Dalam momen Idul Adha atau Hari Raya Haji, folosofi tentang Kurban, tentang Haji, merupakan tema yang sangat menarik untuk disampaikan. Bagi Anda yang menjadi Khotib Idul Adha, tidak ada salahnya mengambil inspirasi dari teks khutbah Idul Adha berikut
===========================================================
  Tentang Hikmah Idul Qurban
 
Kaum Muslimin yang berbahagia!
Pada hari ini kumandang takbir menggema di seluruh dunia Islam, mengagungkan asma Allah. Pada hari ini pula, di Padang Arafah, jutaan kaum Muslimin dari seluruh penjuru dunia berwukuf. Termasuk didalamnya 200 ribu lebih jamaah dari Indonesia. Meski berbeda negeri dan status sosial, mereka tetap memakai pakaian yang sama, pakaian ihram, serta mengumandangkan takbir, tasbih, dan tahmid yang sama pula. Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar la ilaha illallah wallahu akbar. Allhu akbar walillahilhamd! Mereka juga menyerukan kalimat talbiyah yang sama: labbaik Allahumma labbaik labbaika la syarika laka labbaik innal hamda wannikmata laka wal mulk lasyarika lak. Jika peristiwa ini dipotret sebagai sebuah kesatuan, maka sungguh apa yang kita lihat itu sebuah fenomena yang luar biasa. Yang menggambarkan suatu dinamika yang horizontal maupun yang vertikal. 



Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar!
Kaum Muslimin yang berbahagia!
Baru saja kita melakasanakan shalat Idul Adha. Idul Adha merupakan ritual ibadah yang dititahkan oleh Tuhan kepada umat manusia baik sebagai hamba maupun sebagai khalifah. Oleh karena itu manusia tidak selayaknya mempertanyakan: mengapa Tuhan memperintahkan kita shalat, haji, dan ibadah-ibadah lainnya. Tugas ibadah ini datang dari Tuhan yang Maha Kuasa, Tuhan yang Maha Pengasih, Tuhan yang Maha Mengetahui. Yang perlu kita lakukan hanyalah menggali hikmah di balik perintah ibadah ini. Apa hikmah shalat lima kali sehari. Apa hikmah membayar zakat. Apa hikmah pergi haji dan seterusnya.
Hikmah merupakan nilai-nilai yang terkandung didalamnya yang dapat kita ambil seperti kebaikan, ketepatan, kearifan, dan keadilan. Oleh karena itu orang yang mampu memetik hikmah dari suatu peristiwa, kata al-Quran, dialah yang memperoleh keberuntungan yang besar.

Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (QS al-Baqarah [2]: 269)


Agar dapat memetik hikmah dari suatu peristiwa, seseorang harus mampu menangkap substansi dari peristiwa itu. Jika substansinya sudah tercapai, maka peluang memperoleh hikmah terbuka lebar. Bentuk ritual shalat misalnya, dapat kita lihat bersama –berdiri, menghadap kiblat, membaca fatihah, ruku, sujud, dst hingga salam. Itu adalah bentuknya. Namun substansinya adalah berkomunikasi dan berdialog dengan Tuhan. Ketika membaca doa: inni wajjahtu wajhiya lilladzi fatharas samawati wal ardl, maka hati dan jiwa kita sepenuhnya berkomunikasi dengan Tuhan, sedang berdialog dengan Tuhan. Shalat tanpa komunikasi dengan Tuhan sama halnya dengan upacara shalat. Hanya memperoleh bentuk, tidak menangkap substansi dan akhirnya tidak menemukan hikmah dari shalat yang dikerjakan.
Al-Quran mengingatkan kita: fa wailul lil mushallin (Celakalah orang-orang yang shalat.) Siapa yang shalat tapi justru celaka? Alladzinahuum ‘an shalatihim sahun. (Yaitu orang-orang yang mengerjakan shalat, tapi justru mereka lupa berkomunikasi dengan Tuhan.) Perilakunya seperti orang yang sedang mengagungkan Tuhan, tetapi hatinya justru pergi kemana-mana. Perkara ini dibicarakan oleh al-Quran tentang pendustaan agama. Secara lengkap surat itu berbunyi:

“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak  yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna.” (QS al-Maaun [107]:1-7)

Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar!
Hari ini disebut hari Raya Idul Adha bisa juga disebut Hari Raya Haji. Karena memang ada dua konsentrasi ibadah pada hari itu. Disebut hari Idul Adha (hari raya qurban) karena pada hari ini ada penyembelihan hewan qurban. Disebut hari raya haji karena pada hari-hari ini dilaksanakan ibadah haji. Sebagaimana dengan shalat, Idul Adha juga mengandung dua dimensi; bentuk dan substansi. Bentuk ritual haji adalah memakai pakaian ihram, thawaf (mengelilingi Ka’bah), sa’i (lari-lari kecil antara Shafa dan Marwah), wuquf di Arafah serta melempar jumrah. Setelah itu kembali ke tanah air masing-masing. Di kampung mungkin mereka akan dipanggil dengan sebutan Pak Haji atau Bu Hajjah. Begitu pun bentuk ritual ibadah qurban yakni memotong kambing atau sapi kemudian dagingnya dibagikan kepada fakir miskin.
Namun ketahulah di balik yang nampak semua itu tersimpan simbol dan makna yang dalam. Ada filosofi yang terkandung di dalamnya. Filosofi dari ritual itu dapat kita gali dari sejarahnya, misalnya thawaf. Bentuk ibadah thawaf adalah jamaah berdesakan, mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh putaran. Setiap putaran jamaah membaca talbiyah, takbir, tahmid, dan doa yang berbeda-beda. Ibadah thawaf menggambarkan tentang siklus sejarah. Sejarah kehidupan manusia, individu, keluarga, maupun bangsa mengalami putaran menurut sunnatullah yang berlaku. Ada jatuh bangun, senang derita, serta sempit dan longgar. Namun semuanya harus dilalui dengan semangat perjuangan, tanpa mengabaikan dimensi horisontal dan vertikal (hablun minallah wa hablun minannas).
Dalam putaran itu, ada orang yang muda dan kuat, tetapi selalu gagal mencium hajar Aswad. Di sisi lain, ada jamaah tua yang lemah tapi selalu beruntung bisa mencium hajar Aswad. Sejarah juga berlangsung demikian. Ada orang kuat yang selalu gagal, disamping ada orang yang selalu mengalah tetapi justru menjadi pemenang. Sejarah selalu berputar. Berdinamika. Oleh karena itu kita mengenal ada pelaku sejarah, terbawa oleh sejarah, serta hanyut menjadi korban sejarah.
 Coba kita renungkan sejarah bangsa kita. Dari zaman klasik, zaman penjajahan, zaman perjuangan, zaman kemerdekaan, zaman orde lama, orde baru, hingga sekarang orde reformasi. Selalu ada putaran yang memunculkan pahlawan, pengkhianat, koruptor; kecerdasan juga kebodohan. Dalam putaran sejarah itu kekuasaan diduduki oleh orang silih berganti.  Watilkal ayyam yudawiluha bainannas.

“Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran”) (QS Ali Imran [3]: 140)

Menurut teori Sosiologi Ibnu Khaldun, jatuh bangunnya suatu bangsa itu ditandai oleh empat generasi. Pertama generasi pendobrak, kedua generasi pembangun, ketiga generasi penikmat. Jika pada suatu bangsa generasi penikmatnya (sibuk menikmati tanpa membangun) demikian mencolok, maka itulah tanda bangsa tersebut sedang menurun. Karena setelah itu akan lahir generasi keempat, yakni generasi yang tidak peduli dengan masa lalu dan masa depan. Tidak bisa menghargai pahlawan dan tidak peduli atas nasib anak cucu.
 
BACA: Khutbah IDUL FITRI tema Menjauhi Sifat Sombong
 
Jika teori ini kita gunakan untuk menengok sejarah kita, dalam usia 64 tahun kemerdekaan ini, ketika satu dua generasi pendobrak masih ada yang hidup, ketika generasi pembangun sibuk dengan membongkar-pasang, maka akan muncul generasi-generasi penikmat. Tanda-tanda ini mendorong kita untuk berpikir ulang untuk menjadikan generasai hari ini generasi pendobrak. Kita dobrak semua kejumudan, kita dobrak semua penyimpangan, dan kita teruskan kembali generasi pembangun.
Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar!
Sedangkan filosofi sa’i dapat kita gali dari sejarahnya. Sejarah sa’i bermula dari perjalanan Siti Hajar, istri Nabi Ibarahim yang baru saja melahirkan putranya, Ismail. Dalam kesendiriannya, di tengah padang pasir gersang, dia berusaha mencari setetes air. Ia berlari-lari bolak-balik dari Shafa dan Marwah meskipun pada akhirnya tidak menemukan air. Setelah gagal menemukan air Siti Hajar berpasrah kepada Allah. Lalu Allah menunjukkan kekuasaan-Nya. Tiba-tiba dari jejakan bayi Ismail keluarlah mata air. Mata air itu kini disebut zam zam. Mata air itu tidak pernah kering meski dikonsumsi oleh jutaan manusia.
Pelajaran dari ibadah sa’i ialah bahwa setiap masalah itu harus diatasi. Tuhan tidak akan mengubah keadaan kecuali bila manusia berusaha mengubah keadaan itu. Tetapi usaha manusia itu juga tidak menjamin. Banyak manusia yang bekerja keras namun gagal. Tetapi usaha tetap bermakna. Tuhan tidak melihat hasil, tapi Tuhan melihat kesungguhan usahanya, seperti yang dilakukan Siti Hajar. Ketika Hajar sudah berusaha maksimal namun gagal, Tuhan memberikan jalan keluar dari jalan yang tidak terbayangkan. Keluarnya air dari jejakan kaki jabang bayi Ismail mengajarkan bahwa usaha kecil dari orang yang bersih akan lebih membawa hasil yang baik, daripada usaha besar yang dilakukan secara kotor. Menyapu kotoran dengan sapu kecil yang bersih lebih baik daripada dengan sapu besar yang kotor.
Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar!
Selanjutnya ibadah wuquf. Bentuk ibadah wuquf adalah seluruh jamaah tinggal di padang Arafah, di alam terbuka. Mereka mengenakan pakaian yang sama, pakaian ihram. Di sana mereka hanya beribadah; mengumandangkan talbiyah, tasibih, dan tahmid. Filosofi wuquf adalah meskipun manusia memiliki identitas yang berbeda-beda, status sosial yang berbeda-beda, tapi sesungguhnya mereka sama di depan Allah. Di sini menjadi relevan firman Allah yang berbunyi:

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS al-Hujurat [49]: 13)

Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar!
Adapun ibadah qurban bentuknya sangat sederhana. Yaitu menyembelih hewan qurban dan dagingnya dibagikan kepada fakir miskin. Tetapi di balik itu sesungguhnya terkandung pelajaran yang sangat mendalam. Sebagaimana kita ketahui, penyembelihan hewan qurban bermula dari zaman Nabi Ibrahim. Menurut sejarah Nabi Ibrahim baru dikaruniai putra ketika berusia 90 tahun. Dapat dibayangkan betapa senangnya kakek tua itu dengan putranya. Ketika anaknya memasuki usia manja, ketika naluri kecintaan kepada anak sedang dalam puncaknya, tiba-tiba turun perintah Tuhan untuk mengorbankan putranya. Dalam pemikiran sederhana rasanya tidak mungkin Tuhan memerintahkan menyembelih anaknya. Namun Nabi Ibrahim sangat meyakini bahwa Tuhan adalah Maha Baik. Karena itu tak mungkin menyuruh sesuatu yang tidak baik. Apapun perintah tuhan itu pasti baik. Baik sangka itulah yang mengantarkan Ibrahim menyembelih anaknya. Apalagi diketahui, istrinya dan anaknya sendiri ikhlas menuruti perintah Tuhan. Ternyata yang diminta Tuhan sesungguhnya adalah kepasrahan dan kepatuhan paripurna dari Ibrahim kepada Tuhannya.
Setelah segalanya sudah dipersiapkan, kemudian datanglah Malaikat Jibril seraya mengatakan: “Sesungguhnya yang diminta Tuhanmu bukanlah menyembelih Ismail, melainkan kesiapanmu dalam memberikan apapun yang diminta oleh Tuhan.” Dan Ibrahim telah bersedia memberikan apa yang diminta oleh Tuhan, menyembelih anaknya. Sebagai gantinya Jibril membawa seekor domba untuk disembelih, dikorbankan. Demikianlah kurban itu di kemudian hari menjadi tradisi keagamaan.
            Hakekat haji sesungguhnya kesiapan seorang hamba untuk memberikan apapun yang diminta oleh Tuhan; harta, tenaga, bahkan nyawa sekalipun. Thawaf, sa’i, dan menyembelih hewan adalah simbol-simbol dari dinamika kehidupan manusia yang puncaknya dipersembahkan kepada Allah Swt. Seperti yang diucapkan dalam awal shalat: inna shalati wanusuki wamahyaya wamamati lillahi rabbil ‘alamin. “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku semuanya kupersembahkan kepada Allah Tuhan Semesta Alam.”   
Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar!
Kaum Muslimin yang berbahagia!
Tuhan memberi panduan hidup kepada manusia melalui para nabi serta firman-Nya dalam kitab suci. Bahkan fenomena alampun mengajarkan bagaimana seorang itu harus hidup. Tuntunan agama bersifat bulat, bukan persegi. Bukan hitam putih. Karena itu nilai-nilai yang diajarkan agama menyeluruh dan menyentuh seluruh bidang kehidupan; lahir batin; pribadi dan sosial; alam manusia dan hewan; horisontal dan vertical; dunia dan akhirat.
Ukuran haji yang sukses adalah haji mabrur. Haji mabrur tidak dibuktikan dengan sertifikat haji mabrur, namun dibuktikan dengan sikap-sikap yang dijalankan selama menjalankan ibadah haji seperti kespasrahan, kepatuhan, ketekunan, dan solidaritas, dan tak kenal menyerah dibawa pulang untuk diteruskan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kehidupan keluarga, bermasyarakat, maupun berbangsa dan bernegara.
Akhirnya, kaum muslimin yang berbahagia, marilah kita memanjatkan doa, memohon kepada Allah. Berdoa untuk diri kita, keluarga, dan juga untuk bangsa ini.
***

”Ya Allah, ya Tuhan Kami! Tunjukkanlah kepada bangsa ini, tunjukkanlah kepada jalan-Mu yang lurus. Jalan yang dulu dicontohkan para nabi, para syuhada dan shalihin. Bukan jalan orang-orang yang engkau murkai. Bukan pula jalan orang-orang yang tersesat.”

”Ya Allah, ya tuhan kami! Jangan engkau sesatkan hati bangsa ini, ya Allah setelah engkau memberi petunjuk kepada kami. Berikanlah rahmat-Mu kepada kami ya Allah. Dan engkaulah satu-satunya Tuhan Maha Pemberi.”

”Ya Allah, ya Tuhan kami! Perlihatkanlah kepada bangsa ini, ya Allah, kepada pemimpinnya, kepada rakyatnya. Nampakkan yang benar sebagai kebenaran, dan berilah

Related Posts

Khutbah Idul Adha Tentang Hikmah Ibadah Qurban
4/ 5
Oleh

Saya Ingin Berlangganan

Mau dapat up date terbaru teks khutbah Jumat? Silakan berlangganan via email.